Sabtu, 02 Mei 2015

A.  Kecerdasan Spiritual
1.    Pengertian Kecerdasan Spiritual 
Kecerdasan spiritual berkaitan dengan masalah makna, nilai, dan tujuan hidup manusia. Dalam kondisi yang sangat buruk dan tidak diharapkan, kecerdasan spiritual mampu menuntun manusia untuk menemukan makna dan juga dapat menuntun manusia dalam meraih cita-citanya. Kecerdasan spiritual melampaui kemampuan untuk cerdas berpikir, merasa, bertindak dan berperilaku dalam konteks situasional atau kerangka kerja yang diberikan. Kecerdasan spiritual memungkinkan manusia untuk bijaksana dalam merefleksikan situasi untuk menemukan dirinya yang lebih bermakna sehingga mampu mengubah sesuatu menjadi lebih berharga (Mengel, 2005).
Zohar dan Marshal (2007) mengatakan kecerdasan spiritual diartikan sebagai kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa kesadaran. Sebagai kecerdasan yang senantiasa dipergunakan bukan hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, melainkan juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru dalam kehidupan. Bila spiritual quotient (SQ) telah berkembang dengan baik, maka gambaran atau ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan spiritual (SQ) tinggi.
Menurut Zohar dan Marshall (2007), indikator kecerdasan spiritual (SQ) tinggi yaitu: 
1) Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif). 
2) Tingkat kesadaran tinggi. 
3) Kemampuan mengadaptasi dan memanfaatkan penderitaan. 
4) Kemampuan menghadapi dan melampaui rasa sakit. 
5) Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan misi. 
6) Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu. 
7) Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpendangan holisitik). 
8) Kecenderungan nyata untuk bertanya ”mengapa atau bagaimana mencari jawaban dasar.
 9) Pemimpin yang penuh pengabdian dan bertanggung jawab.
Hasil penelitian para psikolog USA (United States of America) dalam Yosef (2005) menyimpulkan bahwa kesuksesan dan keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupan sangat didukung oleh kecerdasan emotional (EQ) sekitar 80%, sedangkan peranan kecerdasan intelektual (IQ) hanya 20% saja. Pusat IQ dan EQ adalah kecerdasan spiritual (SQ), sehingga diyakini bahwa SQ yang menentukan kesuksesan dan keberhasilan seseorang. 
Kecerdasan Spiritual IQ, EQ dan SQ

1.    Ciri-Ciri Kecerdasan Spiritual
Menurut Tebba (2005), kecerdasan spiritual ditandai dengan ciri-ciri, yaitu:
a.       Mengenal motif kita yang paling dalam
Motif yang paling dalam berkaitan erat dengan motf kreatif. Motif kreatif adalah motif yang menghubungkan kita dengan kecerdasan spiritual. Ia tidak terletak pada kreatifitas, tidak bisa dikembangkan lewat IQ. IQ hanya akan membantu untuk menganalisis atau mencari pemecahan soal secara logis. Sedangkan EQ adalah kecerdasan yang membantu kita untuk bsia menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitar kita.
b.      Memiliki tingkat kesadaran yang tinggi
Kesadaran yang tinggi memiliki arti tingkat kesadaran bahwa dia tidak mengenal dirinya lebih, karena ada upaya untuk mengenal dirinya lebih dalam. Misalnya, dia selalu bertanya diapa diriku ini? Sebab hanya mengenal diri, maka dia mengenal tujuan dan misi hidupnya.
c.       Bersikap responsif pada diri yang dalam
Melakukan intropeksi diri, refleksi diri dan mau mendengarkan suara hati nurani ketika ditimpa musibah. Keadaan seperti itu mendorong kita untuk melakukan intropeksi diri dengan melihat ke dalam hati yang paling dalam.
d.      Mampu memanfaatkan dan mentransenden kesulitan
Melihat ke hati yang paling dalam ketika menghadapi musibah disebut menyransenden kesulitan. Orang yang cerdas secara spiritual tidak mencari kambing hitam atau menyalahkan orang lain sewaktu menghadapi kesulitan atau musibah, tetapi menerima kesulitan itu dan meletakannya dalam rencana hidup yang lebih besar.
e.       Sanggup berdiri, menentang, dan berbeda dengan orang banyak
Manusia mempunyai kecenderungan untuk ikut arus atau trend. Orang yang cerdas secara spiritual mempunyai pendirian dan pandangan sendiri walaupun harus berbeda dengan pendirian dan pandangan umum.
f.       Enggan menganggu atau menyakiti orang dan makhluk yang lain
Merasa bahwa alam semesta ini adalah sebauh kesatuan, sehingga kalau mengganggu appaun dan siapapun pada akhirnya akan kembali kepada diri sendiri. Orang yang cerdas secara spiritual tidak akan menyakiti orang lain dan alam sekitarnya.
Menurut Zohar dan Marshall (2010), aspek-aspek kecerdasan spiritual mencakup hal-hal berikut:
a.       Kemampuan bersikap fleksibel. Kemampuan individu untuk bersikap adaptif secara spontan dan aktif, memiliki pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan di saat menghadapi beberapa pilihan.
b.      Tingkat kesadaran diri yang tinggi. Kemampuan individu untuk mengetahui batas wilayah yang nyaman untuk dirinya, yang mendorong individu untuk merenungkan apa yang dipercayai dan apa yang dianggap bernilai, berusaha untuk memperhatikan segala macam kejadian dan peristiwa dengan berpegang pada agama yang diyakininya.
c.       Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan. Kemampuan individu dalam menghadapi penderitaan dan menjadikan penderitaan yang dialami sebagai motivasi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di kemudian hari.
d.      Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit. Kemampuan individu dimana di saat dia mengalami sakit, ia akan menyadari keterbatasan dirinya, dan menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan yakin bahwa hanya Tuhan yang akan memberikan kesembuhan.
e.       Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai- nilai. Kualitas hidup individu yang didasarkan pada tujuan hidup yang pasti dan berpegang pada nilai-nilai yang mampu mendorong untuk mencapai tujuan tersebut.
f.       Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu. Individu yang mempunyai kecerdasan spiritual tinggi mengetahui bahwa ketika dia merugikan orang lain, maka berarti dia merugikan dirinya sendiri sehingga mereka enggan untuk melakukan kerugian yang tidak perlu.
g.      Berpikir secara holistik. Kecenderungan individu untuk melihat keterkaitan berbagai hal.
h.      Kecenderungan untuk bertanya mengapa dan bagaimana jika untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar Menjadi pribadi mandiri. Kemampuan individu yang memilki kemudahan untuk bekerja melawankonvensi dan tidak tergantung dengan orang lain.

2.    Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual
Zohar dan Marshall (2010) mengungkapkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual yaitu:
a.    Sel saraf otak
Otak menjadi jembatan antara kehidupan bathin dan lahiriah. Ia mampu menjalankan semua ini karena bersifat kompleks, luwes, adaptif dan mampu mengorganisasikan diri. Menurut penelitian yang dilakukan pada era 1990-an dengan menggunakan WEG (Magneto –Encephalo – Graphy) membuktikan bahwa osilasi sel saraf otak pada rentang 40 Hz merupakan basis bagi kecerdasan spiritual.
b.   Titik Tuhan (God spot)
Ada bagian dalam otak, yaitu lobus temporal yang meningkat ketika pengalaman religious atau spiritual berlangsung yang disebut sebagai titik Tuhan atau God Spot. Titik Tuhan memainkan peran biologis yang menentukan dalam pengalaman spiritual. Namun demikian, titik Tuhan bukan merupakan syarat mutlak dalam kecerdasan spiritual.  Perlu adanya integrasi antara seluruh bagian otak, seluruh aspek dari dan seluruh segi kehidupan.

3.    Mengukur Kecerdasan Spiritual
Dalam tesis yang disusun oleh King (2008) ada empat komponen kecerdasan spiritual yang masing-masing mewakili pengukuran kecerdasan spiritual secara menyeluruh yaitu Critical Existential Thinking (CET), Personal Meaning Production (PMP), Transcendental Awareness (TA), dan Conscious State Expansion (CSE).
a.       Critical Existential Thinking (CET)
Komponen pertama dari kecerdasan spiritual melibatkan kemampuan untuk secara kritis merenungkan makna, tujuan, dan isu-isu eksistensial atau metafisik lainnya (misalnya realitas, alam, semesta, ruang, waktu, dan kematian). Berpikir kritis eksistensial dapat diterapkan untuk setiap masalah hidup, karena setiap objek atau kejadian dapat dilihat dalam kaitannya dengan eksistensi seseorang. Sementara beberapa mendefinisikannya sebagai „upaya untuk memahami jawaban‟ (Koenig, 2000 dalam King 2009) atas pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya tampak, secara lebih praktis dianggap sebagai pola perilaku yang berkaitan.
Pendapat lain mengatakan bahwa jika hanya mempertanyakan keberadaan saja tidak menunjukan penguasaan lengkap dari komponen ini. Selain harus mampu untuk merenungkan masalah eksistensial tersebut dengan berpikir kritistapi juga sampai pada kesimpulan murni atau filosofi pribadi tentang keberadaan, mengintegrasikan pengetahuan ilmiah dan pengalaman pribadi. Berpikir kritis, yang didefinisikan sebagai mengkonsep secara aktif dan kreatif, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan/atau mengevaluasi informasi yang dikumpulkan atau dihasilkan dari observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi (Scriven & Paul, 1992, dalam King, 2009).
Pada instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen ini pada unsur eksistensi, makna peristiwa, kehidupan setelah kematian, hubungan manusia dan alam semesta, dan mengenai Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi. Namun, penelitian yang dilakukan King tidak merujuk kepada agama tertentu atau non-agama sekalipun.
b.      Personal Meaning Production (PMP)
Komponen inti kedua didefinisikan sebagai kemampuan untuk membangun makna pribadi dan tujuan dalam semua pengalaman fisik dan mental, termasuk kemampuan untuk membuat dan menguasai tujuan hidup. Nasel (2004) dalam King (2009) setuju bahwa kecerdasan spiritual melibatkan kontemplasi makna simbolis kenyataan dan pengalaman pribadi untuk menemukan tujuan dan makna dalam semua pengalaman hidup.
Sebagaimana dikatakan Frankl Dalam Zohar & Marshall (2010) bahwa pencarian kita akan makna merupakan motivasi penting dalam hidup kita. Pencarian inilah yang menjadikan kita makhluk spiritual dan ketika kebutuhan makna ini tidak terpenuhi, maka hidup kita terasa dangkal dan hampa.
Makna pribadi didefinisikan sebagai memiliki tujuan di dalam hidup, memiliki arah, merasakan keteraturan, dan mengetahui alasan untuk keberadaannya (Reker, 1997 dalam King, 2009). Meddin (1998) dalam King (2009) mengidentifikasikan komponen kognitif makna pribadi sebagai kumpulan prinsip yang memungkinkan seseorang untuk masuk akal pada kehidupannya dari dalam dan lingkungan luar. Sebuah komponen kognitif juga disarankan oleh Wong (1989) dalam King (2009) yang mendefinisikan makna pribadi sebagai sistem kognitif yang dibangun oleh seseorang, yaitu mampu memberkati kehidupan dengan makna pribadi dan kepuasan.
Pada instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen kepada unsur-unsur kemampuan adaptasi dari makna dan tujuan hidup dan alasan hidup, makna kegagalan, mengambil keputusan sesuai dengan tujuan hidup, serta makna dan tujuan dari kejadian sehari-hari.
c.       Transcendental Awareness (TA)
Komponen ketiga melibatkan kemampuan untuk melihat dimensi transenden diri, orang lain, dan dunia fisik (misalnya nonmaterial dan keterkaitan) dalam keadaan normal maupun dalam keadaan membangun area kesadaran. Wolman (2001) dalam King (2009) menjelaskan kesadaran transendental sebagai kemampuan untuk merasakan dimensi spiritual kehidupan, mencerminkan apa yang sebelumnya digambarkan sebagai merasakan kehadiran yang lebih nyata, yang lebih tersebar dan umum dari indera khusus kita.
Transendental selalu dikaitkan dengan ketuhanan, namun hasil riset Ecklund (2005) dalam Syahmuharnis & Sidharta (2006), mahasiswa doktor tingkat akhir di Rice University, Houston, terhadap lebih dari 1.600 ilmuwan dari 21 universitas riset elit Amerika Serikat menyimpulkan, banyak orang Amerika yang tidak percaya dengan Tuhan, namun meyakini dirinya memiliki spiritual. Riset itu juga menemukan fakta bahwa spiritualisme kini menjadi hal yang semakin penting di Amerika, namun tetap memisahkan/membedakannya dengan agama.
Abraham Maslow, Hamel, Leclerc, dan Lefrancois (2003) dalam King (2009) telah menggambarkan proses tambahan aktualisasi transenden, yang mereka definisikan sebagai realisasi diri yang didirikan pada kesadaran pengalaman dari Pusat Spiritual (Spiritual Center), juga disebut sebagai Batin atau Inti. Csikszentmihalyi (1993) dalam King (2009) juga menyebutkan transendensi-diri menggambarkan kesuksesan seseorang sebagai transcender yang bergerak melampaui batas-batas keterbatasan pribadi mereka dengan mengintegrasikan tujuan individu dengan yang lebih besar, seperti kesejahteraan keluarga, masyarakat, umat manusia, planet, atau kosmos. Demikian pula, Le dan Levenson (2005) dalam King (2009) menjelaskan transendensi-diri sebagai kemampuan untuk bergerak di luar kesadaran egosentris, dan melihat hal-hal dengan ukuran kebebasan yang cukup besar dari kondisi biologis dan sosial.
Pada instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen ini kepada aspek non-fisik dan non-materi, mampu merasakan non-fisik dan non-materi, memahami hubungan antar manusia, mendefinisikan non-fisik (ruh), kualitas kepribadian/emosi, dan mampu memusatkan diri.
d.      Conscious State Expansion (CSE)
Komponen terakhir dari model ini adalah kemampuan untuk memasukan area kesadaran spiritual (misalnya kesadaran murni, kesadaran murni, dan kesatuan) atas kebijakannya sendiri. Dari perspektif psikologis, perbedaan antara kesadaran transendental dan pengembangan area kesadaran ini didukung oleh Tart (1975) dalam King (2009) bahwa kesadaran transendental harus terjadi selama keadaan sadar normal, sedangkan pengembangan area kesadaran meliatkan kemampuan untuk mengatasi keadaan sadar dan area yang lebih tinggi atau spiritual. Sebuah pengembangan badan penelitian telah menunjukan perbedaan yang signifikan dalam fungsi otak antara semua tingkat dan area kesadaran, termasuk yang berhubungan degan pengalaman spiritual dan meditasi. Area tersebut adalah kesadaran kosmik, kesadaran murni, dan kesadaran unitive.
Kesadaran diri (self consciousness yang sering juga disebut dengan self awareness) adalah pembeda utama antara orang yang memiliki spiritualisme tinggi dengan yang tidak. Orang-orang yang memiliki kesadaran yang tinggi akan selalu berpikir beberapa kali dalam merespons setiap situasi, mengambil waktu sejenak untuk memahami apa yang tersembunyi maupun yang nyata sebelum menunjukan respons awal. Ia selalu bertindak penuh perhitungan, pertimbangan, dan hati-hati. (Syahmuharnis & Sidharta, 2006).
Dalam instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen ini ke dalam unsur-unsur memasuki area kesadaran, mengontrol area kesadaran, bergerak dalam area kesadaran, melihat masalah dalam area kesadaran, dan mengembangkan teknik untuk area kesadaran.

          Referensi :

            Kurniasih. (2010). Mendidik SQ Anak Menurut Nabi Muhammad SAW. Yogyakarta: Galangpress.

            Malini, H. (2009). Hubungan Kecerdasan Spiritual Dengan Perilaku Caring Perawat di RS DR.M.DJAMIL PADANG. Artikel Ilmiah. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

           Qomariah, N. (2012). Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Perawat pada Praktek Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUP Haji Adam Malik Medan. Skripsi. Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Medan.

            Rosalina, W. L. (2008). Pengaruh Kecerdasan Emosional Perawat Terhadap Perilaku Melayani Konsumen Dan Kinerja Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Indramayu dalam http://www.isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2308195215.pdf, diakses pada tanggal 15 Februari 2014
            Rudyanto.(2010). Hubungan antara Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Prososial pada Perawat dalam http://www.digilib.uns.ac.id. Skripsi tidak dipublikasikan, Universitas Negeri Sebelas Maret, diakses pada tanggal 06 Maret 2014.

            Suryawati, P.N. (2010). 100 Pertanyaan Penting Perawatan Gigi Anak. Jakarta : Dian Rakyat.
   
            Suwardi (2008). Hubungan antara kecerdasan emosi dengan kemampuan komunikasi terapeutik perawat Di Rumah Sakit Umum Pandan Arang Boyolali dalam http://etd.eprints.ums.ac.id. Skripsi tidak dipublikasikan. Universitas Muhammadiyah Surakarta, diakses pada tanggal 14 Februari 2014.

            Tebba, S. (2005). Kecerdasan Sufistik Jembatan Menuju Makrifat. Jakarta: Kencana.

            Tjiptono dan Chandra. (2005). Service Quality and Satisfaction. Edisi 2. Andi, Yogyakarta.

            Watson, Jean. (2006). Theory of human caring. Http://www2.uchsc.edu/son/caring.

            Watson, W.E.,M. (2005). Member Competence, Group Interaction, And Group Decision Making. New York: Prentice Hall.

           YLKI. (2011). Mengadukan Layanan Kesehatan dalam http://www.ylki.or.id/mengadukan-layanan-kesehatan.html, diakses pada tanggal 20 Maret 2013.

             Zohar, D. & Marshall, I. (2007). SQ: Spiritual Intelligence The Ultimate Intelligence. Alih Bahasa Rahmani

_           __________________. (2010). SQ: Kecerdasan Spiritual. Bandung: Mizan.




1 komentar:

  1. WynnCasino: Review & Bonus Code | JTGHub
    Find out 통영 출장안마 our review of WynnCasino. 순천 출장샵 casino (Wynn Rewards Casino), Wynn Rewards Casino Casino Rewards Card: 강원도 출장안마 Wynn Casino; 당진 출장안마 Wynn Resorts 정읍 출장안마

    BalasHapus