A. Kecerdasan Spiritual
1. Pengertian Kecerdasan
Spiritual
Kecerdasan spiritual berkaitan dengan masalah makna, nilai, dan
tujuan hidup manusia. Dalam kondisi yang sangat buruk dan tidak diharapkan,
kecerdasan spiritual mampu menuntun manusia untuk menemukan makna dan juga
dapat menuntun manusia dalam meraih cita-citanya. Kecerdasan spiritual
melampaui kemampuan untuk cerdas berpikir, merasa, bertindak dan berperilaku
dalam konteks situasional atau kerangka kerja yang diberikan. Kecerdasan
spiritual memungkinkan manusia untuk bijaksana dalam merefleksikan situasi
untuk menemukan dirinya yang lebih bermakna sehingga mampu mengubah sesuatu
menjadi lebih berharga (Mengel, 2005).
Zohar dan Marshal (2007) mengatakan kecerdasan spiritual diartikan sebagai kecerdasan yang bertumpu pada bagian
dalam diri yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa kesadaran.
Sebagai kecerdasan yang senantiasa dipergunakan bukan hanya untuk mengetahui
nilai-nilai yang ada, melainkan juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai
baru dalam kehidupan. Bila spiritual quotient (SQ) telah
berkembang dengan baik, maka gambaran atau ciri-ciri orang yang memiliki
kecerdasan spiritual (SQ) tinggi.
Menurut
Zohar dan Marshall (2007), indikator kecerdasan
spiritual (SQ) tinggi yaitu:
1) Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara
spontan dan aktif).
2) Tingkat kesadaran tinggi.
3) Kemampuan mengadaptasi dan memanfaatkan
penderitaan.
4) Kemampuan menghadapi dan melampaui rasa sakit.
5) Kualitas
hidup yang diilhami oleh visi dan misi.
6) Keengganan untuk menyebabkan
kerugian yang tidak perlu.
7) Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara
berbagai hal (berpendangan holisitik).
8) Kecenderungan nyata untuk bertanya
”mengapa atau bagaimana mencari jawaban dasar.
9) Pemimpin yang
penuh pengabdian dan bertanggung jawab.
Hasil penelitian para psikolog USA (United
States of America) dalam Yosef (2005) menyimpulkan bahwa kesuksesan dan
keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupan sangat didukung oleh kecerdasan
emotional (EQ) sekitar 80%, sedangkan peranan kecerdasan intelektual (IQ) hanya
20% saja. Pusat IQ dan EQ adalah kecerdasan spiritual (SQ), sehingga diyakini
bahwa SQ yang menentukan kesuksesan dan keberhasilan seseorang.
Kecerdasan Spiritual IQ, EQ dan SQ |
1. Ciri-Ciri Kecerdasan
Spiritual
Menurut
Tebba (2005), kecerdasan spiritual ditandai dengan ciri-ciri, yaitu:
a.
Mengenal motif kita yang paling
dalam
Motif yang paling dalam berkaitan erat
dengan motf kreatif. Motif kreatif adalah motif yang menghubungkan kita dengan
kecerdasan spiritual. Ia tidak terletak pada kreatifitas, tidak bisa
dikembangkan lewat IQ. IQ hanya akan membantu untuk menganalisis atau mencari
pemecahan soal secara logis. Sedangkan EQ adalah kecerdasan yang membantu kita
untuk bsia menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitar kita.
b.
Memiliki tingkat kesadaran yang
tinggi
Kesadaran yang tinggi memiliki arti tingkat
kesadaran bahwa dia tidak mengenal dirinya lebih, karena ada upaya untuk
mengenal dirinya lebih dalam. Misalnya, dia selalu bertanya diapa diriku ini?
Sebab hanya mengenal diri, maka dia mengenal tujuan dan misi hidupnya.
c.
Bersikap responsif pada diri
yang dalam
Melakukan intropeksi diri, refleksi diri dan
mau mendengarkan suara hati nurani ketika ditimpa musibah. Keadaan seperti itu
mendorong kita untuk melakukan intropeksi diri dengan melihat ke dalam hati
yang paling dalam.
d.
Mampu memanfaatkan dan
mentransenden kesulitan
Melihat ke hati yang paling dalam ketika
menghadapi musibah disebut menyransenden kesulitan. Orang yang cerdas secara
spiritual tidak mencari kambing hitam atau menyalahkan orang lain sewaktu
menghadapi kesulitan atau musibah, tetapi menerima kesulitan itu dan
meletakannya dalam rencana hidup yang lebih besar.
e.
Sanggup berdiri, menentang, dan
berbeda dengan orang banyak
Manusia mempunyai kecenderungan untuk ikut
arus atau trend. Orang yang cerdas secara spiritual mempunyai pendirian
dan pandangan sendiri walaupun harus berbeda dengan pendirian dan pandangan
umum.
f.
Enggan menganggu atau menyakiti
orang dan makhluk yang lain
Merasa bahwa alam semesta ini adalah sebauh
kesatuan, sehingga kalau mengganggu appaun dan siapapun pada akhirnya akan
kembali kepada diri sendiri. Orang yang cerdas secara spiritual tidak akan
menyakiti orang lain dan alam sekitarnya.
Menurut Zohar dan Marshall
(2010),
aspek-aspek kecerdasan spiritual mencakup hal-hal
berikut:
a. Kemampuan
bersikap fleksibel. Kemampuan individu untuk bersikap adaptif secara spontan
dan aktif, memiliki pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan di saat
menghadapi beberapa pilihan.
b.
Tingkat kesadaran diri
yang tinggi. Kemampuan individu untuk mengetahui batas wilayah yang nyaman
untuk dirinya, yang mendorong individu untuk merenungkan apa yang dipercayai
dan apa yang dianggap bernilai, berusaha untuk memperhatikan segala macam
kejadian dan peristiwa dengan berpegang pada agama yang diyakininya.
c. Kemampuan
untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan. Kemampuan individu dalam
menghadapi penderitaan dan menjadikan penderitaan yang dialami sebagai motivasi
untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di kemudian hari.
d.
Kemampuan untuk
menghadapi dan melampaui rasa sakit. Kemampuan individu dimana di saat dia
mengalami sakit, ia akan menyadari keterbatasan dirinya, dan menjadi lebih dekat
dengan Tuhan dan yakin bahwa hanya Tuhan yang akan memberikan kesembuhan.
e. Kualitas
hidup yang diilhami oleh visi dan nilai- nilai. Kualitas hidup individu yang
didasarkan pada tujuan hidup yang pasti dan berpegang pada nilai-nilai yang
mampu mendorong untuk mencapai tujuan tersebut.
f. Keengganan
untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu. Individu yang mempunyai kecerdasan
spiritual tinggi mengetahui bahwa ketika dia merugikan orang lain, maka berarti
dia merugikan dirinya sendiri sehingga mereka enggan untuk melakukan kerugian
yang tidak perlu.
g. Berpikir
secara holistik. Kecenderungan individu untuk melihat keterkaitan berbagai hal.
h.
Kecenderungan untuk
bertanya mengapa dan bagaimana jika untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar Menjadi
pribadi mandiri. Kemampuan individu yang memilki kemudahan untuk bekerja
melawankonvensi dan tidak tergantung dengan orang lain.
2. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan spiritual
Zohar
dan Marshall (2010) mengungkapkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kecerdasan spiritual yaitu:
a.
Sel saraf otak
Otak menjadi jembatan antara kehidupan
bathin dan lahiriah. Ia mampu menjalankan semua ini karena bersifat kompleks,
luwes, adaptif dan mampu mengorganisasikan diri. Menurut penelitian yang dilakukan
pada era 1990-an dengan menggunakan WEG (Magneto –Encephalo – Graphy)
membuktikan bahwa osilasi sel saraf otak pada rentang 40 Hz merupakan basis
bagi kecerdasan spiritual.
b.
Titik Tuhan (God spot)
Ada bagian dalam otak, yaitu lobus
temporal yang meningkat ketika pengalaman religious atau spiritual berlangsung
yang disebut sebagai titik Tuhan atau God
Spot. Titik Tuhan memainkan peran biologis yang menentukan dalam pengalaman
spiritual. Namun demikian, titik Tuhan bukan merupakan syarat mutlak dalam
kecerdasan spiritual. Perlu adanya
integrasi antara seluruh bagian otak, seluruh aspek dari dan seluruh segi
kehidupan.
3. Mengukur Kecerdasan
Spiritual
Dalam
tesis yang disusun oleh King (2008) ada empat komponen kecerdasan spiritual
yang masing-masing mewakili pengukuran kecerdasan spiritual secara menyeluruh
yaitu Critical Existential Thinking (CET), Personal Meaning
Production (PMP), Transcendental Awareness (TA), dan Conscious
State Expansion (CSE).
a.
Critical Existential
Thinking (CET)
Komponen
pertama dari kecerdasan spiritual melibatkan kemampuan untuk secara kritis
merenungkan makna, tujuan, dan isu-isu eksistensial atau metafisik lainnya
(misalnya realitas, alam, semesta, ruang, waktu, dan kematian). Berpikir kritis
eksistensial dapat diterapkan untuk setiap masalah hidup, karena setiap objek
atau kejadian dapat dilihat dalam kaitannya dengan eksistensi seseorang.
Sementara beberapa mendefinisikannya sebagai „upaya untuk memahami jawaban‟
(Koenig, 2000 dalam King 2009) atas pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya tampak,
secara lebih praktis dianggap sebagai pola perilaku yang berkaitan.
Pendapat
lain mengatakan bahwa jika hanya mempertanyakan keberadaan saja tidak
menunjukan penguasaan lengkap dari komponen ini. Selain harus mampu untuk
merenungkan masalah eksistensial tersebut dengan berpikir kritistapi juga
sampai pada kesimpulan murni atau filosofi pribadi tentang keberadaan,
mengintegrasikan pengetahuan ilmiah dan pengalaman pribadi. Berpikir kritis,
yang didefinisikan sebagai mengkonsep secara aktif dan kreatif, menerapkan,
menganalisis, mensintesis, dan/atau mengevaluasi informasi yang dikumpulkan
atau dihasilkan dari observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, atau
komunikasi (Scriven & Paul, 1992, dalam King, 2009).
Pada
instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen ini pada unsur eksistensi,
makna peristiwa, kehidupan setelah kematian, hubungan manusia dan alam semesta,
dan mengenai Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi. Namun, penelitian yang
dilakukan King tidak merujuk kepada agama tertentu atau non-agama sekalipun.
b.
Personal Meaning Production (PMP)
Komponen
inti kedua didefinisikan sebagai kemampuan untuk membangun makna pribadi dan
tujuan dalam semua pengalaman fisik dan mental, termasuk kemampuan untuk
membuat dan menguasai tujuan hidup. Nasel (2004) dalam King (2009) setuju bahwa
kecerdasan spiritual melibatkan kontemplasi makna simbolis kenyataan dan
pengalaman pribadi untuk menemukan tujuan dan makna dalam semua pengalaman
hidup.
Sebagaimana
dikatakan Frankl Dalam Zohar & Marshall (2010) bahwa pencarian kita akan
makna merupakan motivasi penting dalam hidup kita. Pencarian inilah yang
menjadikan kita makhluk spiritual dan ketika kebutuhan makna ini tidak
terpenuhi, maka hidup kita terasa dangkal dan hampa.
Makna
pribadi didefinisikan sebagai memiliki tujuan di dalam hidup, memiliki arah,
merasakan keteraturan, dan mengetahui alasan untuk keberadaannya (Reker, 1997
dalam King, 2009). Meddin (1998) dalam King (2009) mengidentifikasikan komponen
kognitif makna pribadi sebagai kumpulan prinsip yang memungkinkan seseorang untuk
masuk akal pada kehidupannya dari dalam dan lingkungan luar. Sebuah komponen
kognitif juga disarankan oleh Wong (1989) dalam King (2009) yang mendefinisikan
makna pribadi sebagai sistem kognitif yang dibangun oleh seseorang, yaitu mampu
memberkati kehidupan dengan makna pribadi dan kepuasan.
Pada
instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen kepada unsur-unsur kemampuan
adaptasi dari makna dan tujuan hidup dan alasan hidup, makna kegagalan,
mengambil keputusan sesuai dengan tujuan hidup, serta makna dan tujuan dari
kejadian sehari-hari.
c.
Transcendental Awareness (TA)
Komponen
ketiga melibatkan kemampuan untuk melihat dimensi transenden diri, orang lain,
dan dunia fisik (misalnya nonmaterial dan keterkaitan) dalam keadaan normal
maupun dalam keadaan membangun area kesadaran. Wolman (2001) dalam King (2009)
menjelaskan kesadaran transendental sebagai kemampuan untuk merasakan dimensi
spiritual kehidupan, mencerminkan apa yang sebelumnya digambarkan sebagai
merasakan kehadiran yang lebih nyata, yang lebih tersebar dan umum dari indera
khusus kita.
Transendental
selalu dikaitkan dengan ketuhanan, namun hasil riset Ecklund (2005) dalam
Syahmuharnis & Sidharta (2006), mahasiswa doktor tingkat akhir di Rice
University, Houston, terhadap lebih dari 1.600 ilmuwan dari 21 universitas
riset elit Amerika Serikat menyimpulkan, banyak orang Amerika yang tidak
percaya dengan Tuhan, namun meyakini dirinya memiliki spiritual. Riset itu juga
menemukan fakta bahwa spiritualisme kini menjadi hal yang semakin penting di Amerika,
namun tetap memisahkan/membedakannya dengan agama.
Abraham
Maslow, Hamel, Leclerc, dan Lefrancois (2003) dalam King (2009) telah
menggambarkan proses tambahan aktualisasi transenden, yang mereka definisikan
sebagai realisasi diri yang didirikan pada kesadaran pengalaman dari Pusat
Spiritual (Spiritual Center), juga disebut sebagai Batin atau Inti.
Csikszentmihalyi (1993) dalam King (2009) juga menyebutkan transendensi-diri
menggambarkan kesuksesan seseorang sebagai transcender yang bergerak
melampaui batas-batas keterbatasan pribadi mereka dengan mengintegrasikan
tujuan individu dengan yang lebih besar, seperti kesejahteraan keluarga,
masyarakat, umat manusia, planet, atau kosmos. Demikian pula, Le dan Levenson
(2005) dalam King (2009) menjelaskan transendensi-diri sebagai kemampuan untuk
bergerak di luar kesadaran egosentris, dan melihat hal-hal dengan ukuran
kebebasan yang cukup besar dari kondisi biologis dan sosial.
Pada
instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen ini kepada aspek non-fisik
dan non-materi, mampu merasakan non-fisik dan non-materi, memahami hubungan
antar manusia, mendefinisikan non-fisik (ruh), kualitas kepribadian/emosi, dan
mampu memusatkan diri.
d.
Conscious State Expansion (CSE)
Komponen
terakhir dari model ini adalah kemampuan untuk memasukan area kesadaran
spiritual (misalnya kesadaran murni, kesadaran murni, dan kesatuan) atas
kebijakannya sendiri. Dari perspektif psikologis, perbedaan antara kesadaran
transendental dan pengembangan area kesadaran ini didukung oleh Tart (1975)
dalam King (2009) bahwa kesadaran transendental harus terjadi selama keadaan
sadar normal, sedangkan pengembangan area kesadaran meliatkan kemampuan untuk
mengatasi keadaan sadar dan area yang lebih tinggi atau spiritual. Sebuah
pengembangan badan penelitian telah menunjukan perbedaan yang signifikan dalam
fungsi otak antara semua tingkat dan area kesadaran, termasuk yang berhubungan
degan pengalaman spiritual dan meditasi. Area tersebut adalah kesadaran kosmik,
kesadaran murni, dan kesadaran unitive.
Kesadaran
diri (self consciousness yang sering juga disebut dengan self
awareness) adalah pembeda utama antara orang yang memiliki spiritualisme
tinggi dengan yang tidak. Orang-orang yang memiliki kesadaran yang tinggi akan
selalu berpikir beberapa kali dalam merespons setiap situasi, mengambil waktu
sejenak untuk memahami apa yang tersembunyi maupun yang nyata sebelum
menunjukan respons awal. Ia selalu bertindak penuh perhitungan, pertimbangan,
dan hati-hati. (Syahmuharnis & Sidharta, 2006).
Dalam
instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen ini ke dalam unsur-unsur
memasuki area kesadaran, mengontrol area kesadaran, bergerak dalam area
kesadaran, melihat masalah dalam area kesadaran, dan mengembangkan teknik untuk
area kesadaran.
Referensi :
Kurniasih. (2010). Mendidik SQ Anak Menurut Nabi Muhammad SAW. Yogyakarta: Galangpress.
Malini, H. (2009). Hubungan Kecerdasan
Spiritual Dengan Perilaku Caring Perawat di RS DR.M.DJAMIL PADANG. Artikel Ilmiah. Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Qomariah, N. (2012). Hubungan Kecerdasan Spiritual
dengan Perilaku Caring Perawat pada Praktek Keperawatan di Ruang Rawat Inap
RSUP Haji Adam Malik Medan. Skripsi. Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Rosalina,
W. L. (2008). Pengaruh Kecerdasan Emosional Perawat Terhadap Perilaku Melayani
Konsumen Dan Kinerja Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Indramayu dalam http://www.isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2308195215.pdf, diakses pada tanggal 15 Februari 2014
Rudyanto.(2010).
Hubungan antara Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku
Prososial pada Perawat dalam http://www.digilib.uns.ac.id. Skripsi
tidak dipublikasikan, Universitas Negeri Sebelas Maret,
diakses
pada tanggal 06 Maret 2014.
Suryawati,
P.N. (2010). 100 Pertanyaan Penting Perawatan Gigi Anak. Jakarta : Dian Rakyat.
Suwardi
(2008). Hubungan antara kecerdasan
emosi dengan kemampuan komunikasi terapeutik perawat Di Rumah Sakit Umum Pandan
Arang Boyolali dalam http://etd.eprints.ums.ac.id. Skripsi tidak
dipublikasikan. Universitas
Muhammadiyah Surakarta, diakses pada
tanggal 14 Februari 2014.
Tebba,
S. (2005). Kecerdasan Sufistik Jembatan Menuju Makrifat. Jakarta:
Kencana.
Tjiptono
dan Chandra. (2005). Service Quality and
Satisfaction. Edisi 2. Andi, Yogyakarta.
Watson, W.E.,M. (2005). Member Competence, Group Interaction, And
Group Decision Making. New York: Prentice Hall.
YLKI.
(2011). Mengadukan Layanan Kesehatan dalam http://www.ylki.or.id/mengadukan-layanan-kesehatan.html,
diakses pada tanggal 20 Maret
2013.
Zohar,
D. & Marshall, I. (2007). SQ: Spiritual Intelligence The Ultimate Intelligence. Alih Bahasa Rahmani
_ __________________.
(2010). SQ: Kecerdasan Spiritual. Bandung: Mizan.